Antara Ikhwan dan Akhwat

Lucu, entah mengapa beberapa waktu terakhir sering terjadi perbedaan pendapat antara ikhwan dan akhwat dalam sebuah rapat. Mungkin biasa saja kalau sekedar perbedaan pendapat, namun kali ini perbedaan tersebut sempat membuat ruangan ber-AC menjadi ‘hangat’.

Momen terhangat terjadi beberapa minggu lalu. Cerita bermula dari usulan akhwat atas sebuah metode yang sudah ditetapkan sebelumnya. Usulan tersebut sudah disepakati di rapat akhwat, namun setelah akhwat menyampaikan, ikhwan mengatakan bahwa metodenya dilaksanakan seperti yang ditetapkan sebelumnya. Dan saat itu akhwat berpikir, “lho, g dipertimbangkan dulu usulan akhwat?”. Dan akhwat pun kembali mengajukan usulannya.

Akhirnya usulan itu pun dibahas. Dalam perjalanannya, akhwat merasa ada semacam diskriminasi dari ikhwan. Ikhwan seakan tidak peduli dan tidak mau melihat sisi baik dari usulan tersebut. Yang dinilai hanya kekurangannya saja (meski ada seorang ikhwan yang menghargainya, syukran). Bahkan ada ikhwan yang berujar “Ah, payah..”. Dan teririslah hati-hati lembut para akhwat. Karena itu akhwat ingin menunjukkan kelebihan dari usul tersebut, karena sepertinya tidak terlihat oleh ikhwan. Rapat pun berjalan alot. Hingga dari pihak akhwat terlontar kalimat yang membuat ikhwan merasa tersindir. Ikhwan lalu mengungkapkan hal tersebut dan memberi tausiyah. Akhwat juga meyampaikan tausiyah. Barulah suhu ruangan mulai kembali normal.

Meski kejadian ini tidak baru terjadi, tapi rasanya ingin meluruskan kembali. Cerita yang saya tulis di atas adalah cerita dari perspektif akhwat, jadi kalau ada ikhwan yang berkaitan yang membacanya, harap dimaklumi. Mungkin ikhwan pun merasa akhwat terlalu memaksa, suka berpikir ribet, padahal ada cara yang lebih simpel. Atau jika ada ikhwan terkait yang ingin menyampaikan perspektif ikhwan, tafadhdhol disampaikan.

Hmm. Kalau teringat dengan kejadian itu rasanya ingin tertawa. Lucu, sungguh. Barangkali ikhwan atau akhwat yang terlibat ada yang tidak sependapat dengan cerita itu, namun itulah yang tampak secara umum, bukan secara individu. Jika berpatokan dari cerita tersebut, sepertinya ada semacam ‘perang’ antara ikhwan dan akhwat. Namun esensinya tidak sesederhana itu. Ikhwan dan akhwat sesungguhnya menginginkan keputusan yang terbaik, namun pola pikirnya tidak sama.

Pada dasarnya ikhwan dan akhwat adalah makhluk yang berbeda : laki-laki dan perempuan, yang memang memiliki cara tersendiri dalam memandang sesuatu. Ikhwan (baca : laki-laki) umumnya lebih cenderung memikirkan hal-hal besar. Mereka lebih menyukai sesuatu atau sistem yang simpel alias tidak rumit. Namun seringkali mereka melupakan hal-hal kecil yang berdampak sistemik. Akhwat (baca : perempuan) justru seringkali memikirkan hal-hal kecil yang dilupakan oleh ikhwan. Mereka berpikir jangka panjang, mereka memikirkan apa-apa yang mungkin terjadi pada setiap keputusan terhadap segala aspek yang berkaitan. Jadi sebenarnya jika kedua pemikiran itu disatukan, akan terbentuk sebuah keputusan yang insya Allah greater, karena pemikiran tersebut saling melengkapi.

Karena itu para ikhwan dan akhwat, mari kita saling memahami (jangan salah memahami kalimat ini ya). Yang perlu dipahami adalah pola pikir kita yang berbeda. Kepada ikhwan, tolong dengarkan pendapat akhwat meski bertentangan. Karena akhwat (baca : perempuan) butuh didengarkan, mereka akan gusar jika tidak ada tanggapan, jadi harap maklum jika barangkali akhwat sering bersikap mendesak.

Kepada akhwat, mari lebih menghargai pendapat ikhwan. Meski tidak sependapat, jangan salahkan pendapat mereka. Karena ikhwan (baca : laki-laki) butuh penghargaan. Seandainya pun kita berpikir pendapat kita lebih baik, sampaikanlah dengan cara yang tidak membuat mereka merasa direndahkan, sampaikan dengan cara yang tidak menunjukkan pendapat kita lebih baik daripada pendapat mereka. Dan mereka juga tidak suka didesak, jadi harap maklum jika barangkali ikhwan sering terkesan tidak menanggapi. Percayalah bahwa mereka sedang berpikir.

Mungkin dulu saya juga tidak paham dengan perbedaan ini. Mungkin saya juga sudah termasuk dalam ‘daftar hitam’. Namun sebuah qodhoya dan review Zafran Saphire kemudian membuat saya tersadar, bahwa keharmonisan dalam rapat harus tetap dijaga. Setelah tersadar dari tidur yang lumayan panjang, saya mulai berusaha untuk lebih sabar saat rapat. Saya berusaha untuk berpikir ‘oh, namanya juga ikhwan (baca : laki-laki)’ tiap kali perbedaan pola pikir itu naik ke permukaan. Namun ternyata saya melihat ada beberapa teman di berbagai rapat, ikhwan maupun akhwat yang sepertinya belum begitu memahami perbedaan ini.

Hal itulah yang mendorong saya untuk menulis tulisan ini. Lucu rasanya mengangkat topik seperti ini dalam blog. Saya berkali-kali tertawa dalam proses penulisannya. Namun ini hal yang penting kan?

Sedikit menekankan, perbedaan pendapat dalam rapat, bagaimana pun adalah suatu hal yang biasa. Perbedaan pendapat itu cukuplah kita rasakan selama rapat saja. Saat keputusan telah ditetapkan, maka pendapat kita semua menjadi sama. Jangan sampai masih tersisa sekuele-sekuele dari pendapat kita yang tidak disepakati. Jangan sampai ada uneg-uneg dalam hati yang mengubah pandangan kita tentang seseorang yang tadi pendapatnya berbeda dengan kita. Apapun yang terjadi di dalam rapat, pikiran kita, perasaan kita, semangat kita mesti sama begitu rapat tersebut selesai. Jika masih ada pertentangan,  meski sedikit, akan berdampak besar bagi pelaksanaan keputusan tersebut.

Saya jadi teringat dengan sebuah kalimat dalam lpj seorang abang dalam sebuah mubes : “Untuk D*** dan Afifah ana mohon maaf jika selama kepengurusan kita pernah sedikit berselisih paham”. Wah, berselisih paham yang mana ya? Yah, sepertinya memang pernah (dengan D*** wallahu a’lam). Meski seperti yang abang itu sering sampaikan juga, perselisihan itu tidak untuk dibawa keluar.

Namun sebuah kata maaf mungkin akan berdampak positif untuk membersihkan hati-hati ini dari noda yang barangkali membandel. Karenanya, saya juga memohon maaf kepada semua ikhwan dan akhwat yang mungkin pernah tersakiti oleh saya selama rapat dan di luar rapat. Afwan jiddan.

Dan untuk tulisan ini, jika ada yang kurang sepakat mohon dimaafkan juga. Terima kasih.

-Terinspirasi dari pengalaman-pengalaman pribadi di berbagai rapat yang berbeda

Wallahu a’lam bishshawab.

Categories: Hikmah, Kisah, Opini | Tags: , | 16 Comments

Post navigation

16 thoughts on “Antara Ikhwan dan Akhwat

  1. Fifah.. Kk tau kpn prselisihan itu..hhe
    iya,qt mmg hrs slg memahami..dan yg plg pntg,qt hrs prcya bhw smua ingnkn yg trbaik,jgn smpai suudzn.
    Ntar Kk sarankn lah org trkait bc tlsn ini.. 🙂

  2. benny antama

    ehem…ben nyumbang senyum aja fifah…kalo dikana-kana lawak juo..

    afwan ya buat para akhwat..jadi merasa bersalah..tapi, perasaan bagian “ah payah” tu gak ada afwan gak inget….ada ya??

    tapi asik juga menikmati dinamika rapat seperti itu..biar gak mono..

    dah aman khan suhu di akhwat sekarang?

    • Afifah Amatullah

      Alhamdulillah aman..
      ‘ah payah’ itu mmg ada,n kami ingat siapa yg mgtakanñ..
      Tp g mslh lg,cm wkt rapat itu aj.
      Asik atw g,yg pnting jgn ada yg terluka n smg g ada lg yg merasa kecewa..

  3. widodosaputra

    Assalamu’alaikum. ‘afwan jiddan, seandainya ‘ah payah’ itu terlontar dari mulut ana.

  4. anung

    kok kayanya saya pernah baca ini dimana ya? tapi nggak apa bagus mbak supaya kita selalu sadar

    • Afifah Amatullah

      insya Allah ini pengalaman pribadi..

      mungkin banyak yang merasakan hal yang sama …? ^^

  5. novita setiani

    asslam…
    afwan saya ingin bertanya mengenai rapat.
    sebenar nya rapat dalam islam antara ikhwan dan akhwat itu bagaimana.???
    bukan kah seharusnya rapat tersebut di pisah untuk menghindari hal2 yang tidak diinginka..

    jazakillah atas jawaban nya..

    wassalam

    • Wa’alaikumussalam…
      Iya, memang dipisahkan dengan hijab rapatnya,
      jadi meski satu ruangan tetap ada hijab yang membatasi antara ikhwan dan akhwat…

      Syukran kunjungannya, kalau kurang jelas silakan tanya lagi 🙂

  6. 😀 jadi kangen dengan suasana panas dalam rapat ADK heheh 😀 tapi bukan untuk berantem.

    Apa yang Ukhti ceritakan tdk jauh berbeda dengan kampus lain. biasalah klo berbeda pendapat, namanya juga “Ikhwan” dan “Akhwat” 😀

  7. dewi rohayati as syifa

    Hmm…yah, ana juga pernah mengalami hal yang sama, Padahal ana bukan “ahlu syuro” lho…kadang karena sering bertele-tele jadi males ikut syuro, herannya mas’ul tetep suka kasih amanah penting walaupun ana jarang bicara di syuro.
    Malah, ada adik-adik yang suka comment, “Teh, Akh X mah kalau syuro teh suka provokatif, bikin suasana ikhwan-akhwat panas.”
    Setelah ditabayun ke akh X, katanya dia sengaja begitu biar suasana panas coz syuro DS/DK di sini mah adem ayem ga kaya di tempat ana dulu, hehe.

    Tapi alhamduLILLAH sebelum tarbiyah sudah baca “Men R From Mars, Women R From Venus” karya John D. Gray, P.Hd. jadi…udah faham tentang seluk beluk perbedaan karakter ikhwan-akhwat, ga reaktif jadinya.

  8. anggiawan23

    Asssalammualaykum, Uni Fifah..izin share and di copast di blog ane yakk..menemukan problematika yang hampir serupa di dakwah kampus di sini..
    Salam kenal, jazakillah..

  9. Pingback: Antara Ikhwan dan Akhwat « M Zia Anggiawan

Leave a reply to afifah amatullah Cancel reply