Saya, Ramadhan dan Kenek Bus

Malam pertama bulan Ramadhan dua tahun lalu, saya berangkat ke Jambi dengan bus. Saya duduk di bangku nomor 4 tepat di belakang sopir, dan seorang ibu mengisi bangku nomor 3 di samping saya. Saya berkenalan dengan beliau di bus, dan ternyata beliau baru saja mengantar anaknya yang kuliah tahun pertama di FK Unand. Saya tanya nama anak beliau, dan subhanallah saya kenal. Anak beliau adalah salah satu mahasiswa baru yang saya bimbing waktu pendaftaran di Unand. Kami pun berbincang dengan akrab.

Malam pertama bulan Ramadhan sebenarnya adalah waktu yang sangat sayang jika dilalui dengan duduk saja di bus. Apalagi untuk orang yang mudah mabuk darat seperti saya, karena tidak bisa duduk di kendaraan sambil membaca atau sambil melakukan hal lain yang mengharuskan gerakan mata dan badan. Untuk shalat di atas bus pun penuh perjuangan karena harus menahan pusing dan rasa mual yang menyesak di kerongkongan. Namun saat itu tidak ada waktu yang lebih baik untuk melakukan perjalanan ke Jambi.

Bus berhenti di sebuah rumah makan di Muara Tebo untuk sahur. Kemudian bus melaju lagi, dan di sinilah rasa tak nyaman mulai menyergapi saya. Kenek bus membawa beberapa botol besar minum dari rumah makan, yang diisi air putih dan air hitam yang sepertinya kopi. Ternyata mereka tidak berpuasa. Miris rasanya waktu itu, meski saya juga ingat bahwa ada keringanan untuk musafir. Meski saya berpikir, “Oh, mungkin kalau tidak ada kopi sopirnya ngantuk.” Namun karena memang inilah pekerjaan mereka, kapan mereka akan berhenti jadi musafir? Kapan mereka akan membayar hutang puasanya?

Saya kemudian baru ingat, menghentikan bus untuk shalat subuh saja juga tergantung sopir busnya. Ada yang mau berhenti, ada yang tidak. Ada yang waktu itu berhenti namun tidak ada penumpang yang merespon, dan akhirnya sopir mengatakan, “Ndak ado yang shalat ko? Lah yo ndak badoso ‘wak lai do.” Lalu bus pun melaju lagi. Waktu itu bus berhenti jam 6 kurang, saya sudah shalat duluan, dan mungkin penumpang lain juga seperti itu. Saya pun tersadar, shalat pun mereka tidak. Wallahu a’lam.

Setelah beberapa menit melaju, kenek bus menghidupkan pemutar musik. Dan, oh tidak…. Lagu dangdut berbahasa minang jadi pilihan. Inilah polusi suara yang sangat teramat benar-benar mengganggu telinga saya. Biasanya saya sumbat telinga dengan memakai earphone dan menghidupkan nasyid hingga volume paling keras. Namun saat itu saya sedang ngobrol dengan ibu di samping saya. Terpaksa saya mendengar lagu-lagu itu. Ingin sekali melewatkannya saja tapi saya tidak bisa. Lirik lagu memang selalu terekam oleh saya, bagus atau tidak, suka atau tidak, bahkan saat sedang berbicara. Itu sudah otomatis.

Alhamdulillah ibu itu mengantuk kembali, perbincangan kami terhenti. Saya bisa menghidupkan nasyid dari handphone. Namun belum lama, kenek membuat ulah lagi. Ia menghidupkan televisi yang tersambung ke pemutar musik tersebut. Dan lagi-lagi, oh tidak…. Videonya parah!! Mungkin tidak perlu saya deskripsikan apa yang ada di video itu, saya pun tidak begitu ingat. Yang jelas videonya parah sekali. Saya tidak tahan lagi, kemungkaran ini benar-benar nyata. Ini baru hari pertama Ramadhan dan mereka sudah menodainya sedemikian cepat!

Saya lalu melihat ke belakang mencari tahu, orang-orang seperti apa yang jadi penumpang hari ini. Ternyata banyak juga yang laki-laki, ada juga anak-anak dan ibu-ibu yang saya yakin juga terganggu dengan video itu. Lalu saya yang duduk tepat di belakang sopir berdiri untuk berbicara seahsan mungkin dengan kenek di depan, “Da, tolong matikan saja videonya.”

Alhamdulillah kenek itu langsung berdiri dan mematikan videonya, tanpa protes, tanpa tampang kesal. Lalu sopir dan kenek lainnya bertanya-tanya, “Manga tu?”. Kenek itu pun menjawab dengan jawaban yang tak terdengar oleh saya. Saya yang yakin bahwa tindakan ini akan didukung oleh ibu di samping saya itu lalu berkata pada beliau, “Bulan Ramadhan kok videonya seperti itu ya Bu….” Tapi ternyata, ibu itu hanya mengangguk tipis tanpa ekspresi. Saya coba mengintip ke penumpang lain. Dan sepertinya mereka semua terkejut dengan apa yang saya lakukan. Saya masih bingung, saya sendiri berpikir itu adalah hal yang wajar.

Setelah sampai saya pun bercerita pada ummi. Ummi lalu memuji tindakan saya, kata ummi itu tadi berani. Namun abi yang mungkin khawatir mengatakan, “Kalau ada lagi nggak usah ditegur, biarkan aja. Kita kan nggak akan nonton videonya, bisa aja kakak dibunuh kalau orang tu marah.” Ummi lalu mengiyakan, dan bercerita tentang seorang ustadz yang diturunkan di jalan karena melakukan tindakan yang sama.

Saya lalu me-rewind apa yang terjadi. Kalau mereka marah, bisa saja saya diturunkan waktu itu juga, yang bertepatan tempatnya dengan hutan-hutan tanpa rumah. Lalu saya berpikir, kalau pun mereka melakukan itu, saya yakin penumpang lain tak akan tega. Kalau pun tega, saya bisa mengatakan akan mengajukan pengaduan, saya dan keluarga tidak akan naik bus ini lagi setelah berlangganan sekitar 20 tahun. Kalau pun tetap diturunkan, ya bagaimana lagi. Hari sudah terang kok waktu itu, saya bisa telpon abi untuk menjemput saya.

Saat itu, tidak ada sedikit pun rasa takut dalam hati saya. Tidak gentar, dan tidak menyesal atas tindakan yang saya lakukan. Saya teringat dengan hadits Rasulullah :

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemahnya iman.” (Bukhari, hadits nomor 903 dan Muslim, hadits nomor 70)

Ya, mungkin saat itu iman mengisi hati saya. Sebelum berangkat saya memang lebih mempersiapkan ruh daripada biasanya karena akan menjumpai Ramadhan. Selama di perjalanan pun dzikirnya dilebihkan dari biasa. Dan mungkin kerinduan saya pada Ramadhan yang tak bisa terobati dengan tilawah malam itu juga semakin menguatkan. Bisa jadi jika waktu itu bukan Ramadhan saya hanya mampu melawan dengan selemah-lemah iman di dalam hati.

Dan yang pasti inilah kuasa Allah. Allah yang menguatkan saya untuk melakukan nahi mungkar. Allah yang melembutkan hati kenek itu untuk mau membantu. Allah yang tidak mengizinkan sopir dan kenek lain marah hingga menurunkan saya.

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan Hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125)

Sesungguhnya kondisi yang membolehkan kita hanya mengingkari dengan hati adalah jika ada kekhawatiran bahwa bahaya akan menimpanya dan dia tidak mampu menanggung penderitaannya. Jika menurut perkiraannya tidak akan terjadi hal tersebut, maka tidak gugur darinya kewajiban untuk mengingkari kemungkaran hanya dengan alasan telah mengingkarinya dengan hati. Melainkan wajib baginya mengingkari dengan tangan dan lisan sesuai kemampuannya. Tentu tetap dengan hikmah dan cara yang ahsan, karena tanpanya kebaikan yang kita sampaikan justru bisa menjadi fitnah.

Dari Abu Said ra, Nabi saw berkata dalam khutbahnya, “Janganlah ketakutan kepada manusia menghalangi seseorang untuk mengatakan kebenaran jika dia mengetahuinya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah)

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (QS Luqman : 17)

Apa lagi yang menghalangi kita untuk mencegah kemungkaran? Mari hindarkan diri kita dari sikap ‘memudah-mudahkan’. Hanya Allah-lah yang berhak dan pantas untuk ditakuti.

Wallahu a’lam.

Categories: Dakwah, Hikmah, Kisah, Opini | Tags: , , , , | 23 Comments

Post navigation

23 thoughts on “Saya, Ramadhan dan Kenek Bus

  1. subhanallah kak.. tp masyaAllah jw kak
    kbanyakan an pun mliat sopir2 angkutan umumnya spt itu, byk yg ga sholat meski KTP islam. Ntah lah..agak miris jg.

    • Iya an, dan percayalah memperbaikinya juga salah satu tugas kita..
      Meski mungkin g dengan langsung datengin sopirnya dan bilang,
      “Pak, shalat dong…!”

  2. saya berkunjung….

    nice blog, apa kabar DK Unand?
    salam dari UGM

  3. Orang tua saya pernah bilang, kalau hidup sudah akrab dengan wanita, judi, dan minuman keras, maka alamat akan sengsara dunia akhirat. Kesuksesan akan jauh, bahkan yang sudah ada akan lenyap.

    Sedikit info saja, biasanya para sopir lintas kota lintas propinsi (mungkin gak semua), baik yang sudah punya istri atau belum, terbiasa jajan. Saya bisa mengetahui ini karena apotek ayah saya terletak di lintas timur, yang biasa dilalui oleh bus lintas propinsi dan mobil fuso pengangkut barang. Dan obat yang sering mereka beli itu adalah antibiotik untuk GO. Mungkin keadaan yang memaksa, karena mereka bisa sampai seminggu meninggalkan istri. Kenek yang juga masih lajang biasanya diajak jajan oleh sopir (mungkin ditraktir).

    Tidak perlu heran kalau melihat sopir yang gak shalat apalagi puasa, toh berzina saja menjadi kebutuhannya. Allahu a’lam bisshawab. Tugas kita amar ma’ruf nahi munkar.

    Oya, tapi jangan underestimate terhadap semua sopir. Itu hanya sebagian besar saja, masih ada sebagian kecil yang bisa jadi teladan.

    Baca ini: http://snowyautumn.wordpress.com/2011/01/07/teladan-nya-supir-taxi-mesir/

  4. tesa huryati

    komplit ya..
    tambah do’a juga fah..

  5. Like This 😀

  6. La haula wala quwwata illa billah..
    Cegahlah kemungkaran yg terjadi selagi kita bisa..salllut ukhty..tu supir CS brgkali blm dpt hidayah n blm dpt teguran kali..smg cpt2 dpt hidayah lah..biar penumpangx senang dan jauh dr musibah kecelakaan.amiin..

  7. Assalamu’alaikum.
    Suatu sikap yang berani. Tapi kalau itu dilakukan oleh adik perempuan saya atau anak perempuan saya, saya juga akan melarangnya.

    Maksud hadits ini, selemah-lemahnya iman itu apa? Apakah dengan kesanggupan sebatas membenci kemungkaran saja merupakan tanda kelemahan iman? Atau selemah-lemah upaya yang bisa/harus dilakukan oleh orang yang beriman adalah dengan membenci?

    Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban. Tapi dalam nahi munkar juga perlu mengukur bayang-bayang sepanjang badan. Kalau seandainya punya bargainning position (ex: anak pengusaha transportasi yang bersangkutan) maka nahi munkar biyadih bisa dilakukan. Kesanggupan dalam menerima cobaan akibat nahi munkar jangan hanya melihat pada diri sendiri saja, tapi kondisi orang yang ada di sekitar juga perlu diperhatikan. Apakah orang tua, keluarga, handai tolan, tetangga, masyarakat sekitar, dan yang lainnya juga sanggup menerima cobaan (kalau2 akibat dari nahi munkar kita berefek juga ke mereka).

    • asal jangan kita saja yang menjadi penikmat kemunkarannya.

    • Wa’alaikumussalam,
      Dalam tulisan di atas sudah sedikit dijelaskan tentang posisi mengingkari kemungkaran dengan hati. Yang bisa menggugurkan kewajiban dengan tangan dan lisan adalah praduga yang kuat akan terjadinya mudharat yang lebih besar. Dan dalam konteks di atas praduga kuat itu tidak ada, yang ada malah keyakinan bahwa ini akan berhasil.
      Praduga tentu datangnya dari Allah, mungkin praduga tersebut dihilangkan saat itu karena memang keadaan akan berjalan baik, atau praduganya dikuatkan jika keadaan akan menjadi buruk. Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi.

      • Ya, benar sekali. Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi, kita yang tidak tahu. Makanya berhati-hati.

        Kita mungkin sanggup menerima konsekuensinya, tapi orang tua kita mungkin tidak.

  8. Dari kisah ini kan kita bisa lihat bahwa, saat ini, kita belum bisa terlalu mengandalkan kontrol sosial masyarakat karena faktanya masyarakat kita secara umum belum siap untuk mengemban fungsi kontrol tersebut <– pemahaman masyarakat kan tidak seragam. Sebagian mereka menganggap video2 seperti itu/tidak sholat/ tidak puasa itu sebagai hal yang biasa, sebagian lain menganggap agak melenceng sedikit, dan sebagian lain menganggap itu sangat bertentangan dengan prinsip.

    Oleh karena itu, sebagai orang yang faham tentu masing-masing kita harus memulai. Mengutuk dengan hati adalah selemah-lemahnya iman, tapi puaskah kita berada pada posisi selemah-lemahnya iman. Silahkan di komplain dgn lisan secara baik2, kalo gak mau ya udah, setidaknya kita sudah membuktikan bahwa kita tidak sdg dalam kondisi iman terlemah…

      • frista maulina

        mantap mah fah… ndak baa tu do.. kadang dr diri pun ndk sadar tuk menyampaikan kebenaran tu. Refleks se. ta juga pernah di bis, minta keneknyo minimal keciln suara musikny. di angkot pernah secara terang2n bilang.. “tuka lah lagunyo da”. atw dg siakp2 n celetukan sendiri atw dg kawan yang mnyuruh pak sopir menukar lagunya. tapi klo fifah sampai diturunin di jalan, lumayan mbahayakan hasilnyo fah.

  9. Iya ta.. mesti sensitif kitanya..
    Hehe, yo baa jo lai kalau diturunan, saya siap… 😀

  10. Enak aja…. :-p
    Kan mujahidah… hehehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: