(dalam Seri Mendidik Anak)
Cahaya itu mendatangi saya pada tahun 1986. Ia membuat saya mengenal Islam dalam artian sesungguhnya. Ia membuka hati dan wawasan, hingga drastis, kehidupan saya berubah dalam segala aspek. Dan saya bertekad untuk berislam secara kaffah. Ialah tarbiyah.
Dengan bimbingan tarbiyah, saya menetapkan kriteria pendamping hidup. Saya selalu berdoa dan berharap agar mendapat suami yang soleh. Alhamdulillah doa saya dikabulkan Allah, saya dipertemukan dengan seorang ikhwan yang masih kuliah. Dengan perjuangan yang cukup berat akhirnya terlaksana juga pernikahan itu. Tantangan datang dari keluarga besar kami, karena kami tidak saling mengenal (saya dan suami saya pacaran ba’da nikah). Kami hanya kenal sedikit melalui murabbi/ah masing-masing. Sebuah hal yang benar-benar aneh pada masa itu : menikah saat masih kuliah, suami belum punya pekerjaan tetap dan ditambah dengan pelaksanaan pernikahan yang Islami.
Sebelum menikah saya sudah mendapat bekal tentang bagaimana membentuk rumah tangga Islami, bagaimana mendidik anak menurut Rasulullah mulai dari memilih jodoh, hamil, melahirkan hingga membentuk kepribadian anak. Tapi ternyata mengaplikasikan semua teori-teori tadi di lapangan, tidaklah semudah membacanya. Banyak cobaan yang datang dari sikon saya dan suami sendiri, nenek, keluarga besar dan lingkungan masyarakat. Seperti menjilbabkan anak pada waktu bayi, yang pada umumnya orang memberi komentar miring. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah saya.
Alhamdulillah kami dikaruniai 4 orang anak. Selalu teringat kata-kata seorang ustadz, bahwa mendidik anak itu haruslah sedini mungkin, karena dengan begitu akan sangat mudah membentuk anak. Harus menerapkan nilai-nilai di usia dini, sebelum anak terkontaminiasi dengan dunia luar. Anak akan mudah dan langsung menerima apa yang kita ajarkan. Namun jika anak sudah mulai main ke luar rumah dan melihat dunia luar kita akan sulit untuk menanamkan kepada anak tentang bagaimana akhlak yang baik, ibadah yang benar dan sebagainya. Anak akan banyak berhujjah ketika kita ajarkan. Apalagi kalau anak sudah remaja, tentu lebih sulit lagi. Atau mungkinkah tiba-tiba saja anak berusia 10 tahun akan langsung mau shalat 5 waktu dan tepat waktu jikalau tidak sedini mungkin kita latih?
Sedikit berbagi pengalaman, barangkali ini bukan metode yang kini disosialisasikan, namun alhamdulillah kami mendapat hasil yang terbaik. Dalam mendidik anak, ada beberapa hal yang saya dan suami terapkan dalam segi ibadah, akhlak dan aqidah tentunya. Yang saya tulis ini bukan sebuah artikel, namun semata penjabaran tentang apa yang saya alami dan rasakan.
ini tulisan ummi fifah?
Hadzihi katabat ihda ummahaat allati ‘araftuhaa..
(Tulisan ini ditunjukkan oleh ibu-ibu yang aku mengenalnya)
Itu maksudnya Dan.
(Maksudnya, ibu2 yang aku kenal.)
syukran, do..
Afwan ya… 😀
lebih tepatnya, tulisan ini dari salah satu ummahat yang ana kenal.. 🙂
(Ya, ini terjemahan yang bagusnya. Terjemahan saya di atas terlalu saklek dg tata bahasa.)
tdk apa2, wildan sudah mendapatkan maknanya. terima kasih dodo dan ahmad. 🙂
bukan terlalu saklek bg..
tpi cm 1 kata aja yg beda, ihda = salah satu… bkn ditunjukkan.. 🙂
😦
kenapa harus pasang emot sedih do?
Karena ilmu sudah berkurang Dan. (Bencana ilmu adalah lupa).
jadikan itu pacuan untuk meraih ilmu lebih tinggi lagi, akh… 🙂
langsung fah.. aplikatif.. mantab!!
Segera diaplikasikan, tidak harus ke anak sendiri kalau belum punya.. 😀
iya fah, si lola kan masih 10 tahun.. sekalian buat ngedidik dia biar sholatnya full terus.. tapi jadinya PJJ deh.. (Pendidikan Jarak Jauh)..
duh.. agak ribet ya..
iya fah, si lola kan masih 10 tahun juga.. bisa diaplikasikan ke dia biar shalatnya full terus..
Hehe, tetap istiqomah phen!
Kalau bukan phen siapa lagi?