Menghitung Aib

Terjerembab ke lumpur hitam karena tersandung kerikil dosa, adalah hal yang tiap waktu mungkin terjadi pada kita. Pada suatu waktu, saat kita tersandung kita mampu kembali berdiri tegak, meluruskan langkah, dan menghindar dari noda yang menunggu di bawah kita. Namun pada waktu yang lain kerikil itu mungkin telah tumbuh menjadi batu yang tertanam kuat, hingga saat kaki lemah kita menyandungnya, batu itu tetap diam di tempat dan tertawa menyaksikan si pemilik kaki terjatuh, terluka, sulit untuk bangkit kembali karena sakitnya.

Kita bisa terjatuh kapan saja, lalu Allah dan kitalah yang tahu sudah berapa sering kita terjatuh. Sudah berapa banyak luka, berapa sering mengobati luka. Allah dan kitalah yang tahu seberapa sempurna kesembuhan luka-luka itu. Allah dan kitalah yang tahu apakah luka itu sudah sembuh sempurna tanpa bekas, atau ia meninggalkan jaringan parut yang tidak bagus bentuknya, atau ia masih basah dan bernanah, atau ia justru tak mampu sembuh lagi karena sudah begitu kronis hingga dipenuhi jaringan-jaringan nekrotik. Dengan kondisi luka yang berborok menjijikkan, siapkah kita jika orang lain mengetahuinya? 

Setiap manusia memiliki sisi baik dan buruknya sendiri-sendiri. Dengan melihat kebaikan kita, orang-orang akan menyukai kita, meneladani kita dan mengharapkan kehadiran kita. Mungkin amalan kita baik, sikap kita ramah, suka menolong, punya kepedulian, murah senyum, selalu tulus dan sebagainya. Namun meski kita memiliki semua itu, kita juga memiliki aib yang hanya Allah dan kita yang tahu. Hanya Allah dan kita yang tahu kadar aib itu dan bagaimana ia akan mempengaruhi sikap orang lain terhadap kita. Jika orang lain kemudian mengetahuinya, bisa jadi lenyaplah semua kekaguman mereka terhadap diri kita.

Karenanya jika banyak orang yang menyukaimu, maka pahamilah hal tersebut bukan karena kehebatanmu, melainkan karena orang-orang itu tidak mengetahui aib yang tersembunyi di dirimu. Jadi tidak perlu kita berbangga diri, tidak perlu merasa lebih baik, tidak perlu merasa diri mempesona. Ingat aib yang kita punya, dan kita akan terhindar dari kesombongan. Segala kebaikan yang kita punya hanyalah sebagian kecil dari nikmat yang Ia berikan. Kebaikan-kebaikan itu pun tak akan mampu membuat orang lain tertarik jika bukan karena rahmat dari-Nya. Dan jika bukan karena Allah yang telah menutupi aib kita, barangkali diri kita tak lagi ada nilainya di hadapan manusia.

Mari kita ingat lagi, tujuan dakwah ini bukanlah untuk membuat para mad’u tertarik pada kita. Tujuan dakwah adalah membuat mereka tertarik mendalami Islam secara kaffah. Kita hanyalah mediator, tak lebih. Dan kita tahu, aliran listrik tidak dapat diteruskan jika mediatornya adalah isolator.

Jika banyak orang yang menyukaimu, cukup jadikan hal tersebut sebagai pendorong untuk meminimalisir aib yang ada. Karena manusia yang sempurna adalah manusia yang aibnya dapat dihitung. Jadi, berapa banyak aib yang kita punya?

“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (HR Bukhari)

Categories: Dakwah, Hikmah, Look Into Your Heart | Tags: , | 6 Comments

Post navigation

6 thoughts on “Menghitung Aib

  1. widodo saputra

    Allah berfirman kepada Musa, “Bagaimana Aku akan menurunkan hujan kepada kalian sedangkan di antara kalian ada seorang hamba yang bermaksiat sejak 40 tahun yang lalu. Umumkanlah di hadapan manusia agar dia berdiri di hadapan kalian semua. Karena dialah, Aku tidak menurunkan hujan untuk kalian.”

    Maka Musa pun berteriak di tengah-tengah kaumnya, “Wahai hamba yang bermaksiat kepada Allah sejak 40 tahun, keluarlah ke hadapan kami, karena engkaulah hujan tak kunjung turun.”

    Seorang laki-laki melirik ke kanan dan kiri, maka tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia, saat itu pula ia sadar kalau dirinyalah yang dimaksud.

    Ia berkata dalam hatinya, “Kalau aku keluar ke hadapan manusia, maka akan terbuka rahasiaku. Kalau aku tidak berterus terang, maka hujan pun tak akan turun.”

    Maka hatinya pun gundah gulana, air matanya pun menetes, menyesali perbuatan maksiatnya, sambil berkata lirih, “Ya Allah, Aku telah bermaksiat kepadamu selama 40 tahun, selama itu pula Engkau menutupi `aibku. Sungguh sekarang aku bertaubat kepada Mu, maka terimalah taubatku.”

    Tak lama setelah pengakuan taubatnya tersebut, maka awan-awan tebal pun bermunculan, semakin lama semakin tebal menghitam, dan akhirnya turunlah hujan.

    Musa pun keheranan, “Ya Allah, Engkau telah turunkan hujan kepada kami, namun tak seorang pun yang keluar di hadapan manusia.” Allah berfirman, “Aku menurunkan hujan kepada kalian oleh sebab hamba yang karenanya hujan tak kunjung turun.”

    Musa berkata, “Ya Allah, Tunjukkan padaku hamba yang taat itu.”

    Allah berfirman, “Ya Musa, Aku tidak membuka `aibnya padahal ia bermaksiat kepada-Ku, apakah Aku membuka `aibnya sedangkan ia taat kepada-Ku?!”

    • Abdullah bin Mas’ud ra menceritakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, saya telah bersenang-senang dengan seorang wanita di perbatasan kota, tetapi saya tidak sampai menyetubuhinya, maka bagaimana ini? Putuskanlah hukuman kepadaku sekehendakmu. Umar ra berkata, “Allah sebenarnya telah merahasiakan masalahmu, andai kamu juga merahasiakannya.” (HR Bukhari)

      Seorang muslim disunahkan untuk bertaubat atas kesalahannya yang tidak diketahui orang lain, dan kesalahan tersebut hanya menjadi urusan ia dan Tuhannya.

  2. T354

    bagus fah… masih pagi, cepat amat postingnya

  3. nurul

    bagus fah..
    jadi malu 😥
    ive followed ur twitter (afifah25)?
    bener ga?
    i need ur halo..

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: